Lihat,Dengar dan Rasakan

Monday, April 26, 2010

Memandang Kartini Dari Sisi yang Berbeda

Melihat sosok Kartini tentunya tidak bisa melepas atribut-atribut dirinya sebagai sebuah simbol perjuangan emansipasi perempuan, yaitu sebuah perjuangan untuk meningkatkan martabat para perempuan tanpa menghilangkan hak dan kewajiban sebagai seorang perempuan. Efek dari perjuangan ini terasa pada saat ini dimana aspek sosio kultural perempuan berkembang hanya tidak pada 3-Ur (Dapur, Sumur dan Kasur) namun berkembang hingga bisa kita lihat langsung dimana banyak kartini-kartini muda saat ini yang berhasil pada bidangnya masing-masing.


Memahami buah pemikiran Kartini tentunya mengenal bahwa dirinya sedikit banyak dipengaruhi oleh karya-karya Eduard Douwes Dekker yang lebih kita kenal sebagai Multatuli. Karya-karya Multatuli itu juga yang membuka pandangan Kartini akan perjuangan hak-hak asasi dan mengenai kemanusiaan. Pengaruh Multatuli ini juga yang mempengaruhi dirinya dalam memandang agama. Pandangan-pandangan ini diungkapkan dalam surat-suratnya yang dibukukan dalam Door Duisternis Tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. “Kata orang, agama akan menjaga kita dari perbuatan dosa, namun berapa banyak dosa yang telah diperbuat atas nama agama? Agama dimaksudkan sebagai rahmat bagi semua umat manusia, untuk menjadi tali penghubung antara semua ciptaanNya. Kita semua bersaudara bukan karena satu keturunan tapi karena satu Tuhan yang berkuasa di atas sana. Oh Tuhan, kadang aku berpikir bahwa agama lebih baik tidak ada saja. Karena justru agamalah penyebab perselisihan, perpecahan dan pertumpahan darah dan bukan menjadi tali pemersatu umat manusia. …Aku sering bertanya pada diriku sendiri: apakah agama merupakan sebuah rahmat kalau prakteknya malah seperti ini?” (kartini-dan-multatuli oleh Wenri Wanhar). Terlintas ia seperti tak sependapat dengan agama, sesuai dengan yang ditulis disuratnya "Tuhanku adalah nuraniku. Surgaku dan nerakaku adalah nuraniku,". Namun kemudian dalam prosesnya, ia menyadari bahwa bentuk agama itu bukan yang salah tetapi pada perilaku manusia yang menggunakan agama tersebut sebagai alasan untuk berselisih dan mengangkangi moralitas yang ada.


Kartini dalam hal ini bukan berarti menyalahkan agama tetapi lebih jauh ia menekankan pada segi isi daripada bentuk-bentuk agama yang mengotak-otakan manusia. Segi isi ini dimaksudnya sebagai kemuliaan manusia dengan amalnya pada sesama manusia (Hlm 12,Asvi Warman Adam). Hal-hal yang berluhur seperti tolong menolong dan tunjang menunjang atau cintai mencintai itu yang menjadi urat nadi dari segala Agama. Kemudian ia menekankan kembali bahwa “Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan dan agama itu bisa dipeluk, baik sebagai Nasrani maupun Islam dan lain-lain” (Hlm 12, Asvi Warman Adam). Agama bagi Kartini bukanlah seharusnya menjadi alat yang memecahkan hubungan antar manusia menjadi kelompok-kelompok yang sewaktu-waktu dapat beririsan secara keras. Agama seharusnya menjadi alat penyatu kemanusiaan, alat penyatu yang dapat merekatkan dan mendukung integrasi antara manusia.


Baik dalam konteks masa Kartini dan saat ini, kehidupan beragama dijalani dengan kaku dan disimulatif yang mematikan toleransi dan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini diperkuat berbagai tragedi kemanusiaan yg mengatasnamakan agama sebagai tameng. Stigma-stigma buruk bermunculan dan melekat pada atribut-atribut keagamaan tertentu. Yang sesungguhnya dan perlu diingatkan kembali bahwa agama hanya dijadikan simbol yang terbawa dalam atribut dari individu-individu yang menodai kemanusiaan.


Hari kartini ini menjadi sebuah momen bukan hanya untuk menghormati perjuangan perempuan dalam melawan komoditasi tubuh mereka,namun juga menjadi momen untuk kita untuk membangun kembali nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi terhadap sesama untuk mengembangkan kehidupan bersama. Dimana kita hidup sebagai satu identitas yaitu sebagai bangsa Indonesia.